Dalam novel berbahasa Italia, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Jawablah Aku diterbitkan Gramedia, Susanna Tamaro melukiskan ”aku” tokoh utamanya, yang hidup terbuang dan merana karena tak pernah memperoleh cinta. Ia terus-menerus didera pertanyaan, apa artinya cinta, dan cinta pun lalu terasa menjadi tema pokok kisah hidupnya.
Lama-kelamaan, seiring dengan makin matangnya kepribadiannya, sang ”aku” menyadari bahwa ia tampaknya keliru, telah terlalu banyak bertanya tentang apa makna cinta, tapi tak pernah terlintas dalam benaknya untuk berpikir tentang apa hidup.
Apakah Susanna hendak menyatakan hidup lebih penting dari cinta karena bukankah orang—juga sang ”aku”—masih bisa juga hidup tanpa cinta? Di dalam novel itu, dan barangkali dipertegas oleh ilustrasi sampulnya, hidup hanya seberkas bayangan hitam dalam cahaya jingga yang mulai kelam. Kita disuruh menyimpulkan, seolah hidup makin menuju pada segala yang kelam dan ketidakjelasan?
Susanna membiarkan sang ”aku” dalam kegelisahannya. Dalam cerita Simon dan Orang Bercahaya, Jacob Grimm juga melukiskan anak kecil yang hidup tanpa ibu. Tapi di sana dengan jelas digambarkan, manusia bisa hidup tanpa cinta seorang Ibu, tapi tidak tanpa Tuhan. Artinya, sebenarnya kita tak bisa hidup tanpa cinta.
Dan seperti dalam cerita Simon dan Orang Bercahaya, Susanna pun membawa kita pada renungan bahwa dalam hidup, biarpun tanpa cinta, dan di saat kita sendirian, tampaknya selalu ada ”seseorang” yang mendampingi kita.
Dengan kata lain, kita selalu didampingi cinta. Tapi kita sering tak tahu. Dan kita tak menyadarinya. Maka, kita pun—seperti juga sang ”aku”—selalu bertanya apa makna cinta.
Mungkin, sebabnya, karena ada dua jenis cinta. Pertama, cinta yang berisik dan nyinyir, yang harus lahir dalam bentuk kata-kata. Cinta jenis ini mungkin tampak cerdas, penuh argumen, penuh penjelasan, dan karena itu bisa menggema ke mana-mana.
Tapi cinta macam ini agak mudah diobral. Soalnya cinta bisa diperoleh dengan cepat dan risikonya bisa dilupakan dengan cepat pula. Cinta, jatuh cinta, dan menerima cinta, menjadi urusan teknis dan rutin, seperti urusan birokrasi kantor.
”Jadi ini bukan cinta?”
Tetap cinta juga namanya. Tapi ini jenis cinta hiasan bibir. Kita punya cinta dalam sosok lain lagi. Ini cinta dalam renungan Gibran.
”Cinta tidak memiliki ataupun dimiliki
Karena cinta telah cukup untuk cinta
Cinta tiada berkeinginan selain untuk
mewujudkan maknanya”
Dan bagi Gibran, bila benar orang memiliki cinta, maka ia tak akan berkata ”Tuhan ada di dalam hatiku”, melainkan sebaliknya: ”Aku berada di dalam Tuhan”.
Saya kira, ini jelas bukan cinta hiasan bibir, melainkan mahkota hati. Ini bukan cinta yang meriah dan ceriwis, melainkan cinta yang diam, tak terukur, tak bisa dipamerkan di depan siapa pun.
”Bagaimana cinta kita kepada Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW? Cinta kita hiasan bibir? Ceriwis? Atau cinta sebagai mahkota hati, yang dalam, tak terluka dan tak akan mudah luka? Dan karena kesejatiannya, maka kita tak khawatir apa-apa, biarpun beliau diejek orang?
Difitnah tak membuat beliau terfitnah. Diburukkan tak membuat beliau buruk. Beliau jiwa mulia hingga para malaikat dan bahkan Tuhan pun selalu bersalawat siang dan malam?
Pertanyaan ini serba tak mengenakkan. Kalau dijawab cinta kita hanya hiasan bibir, mertua sendiri bisa tak enak hati. Kalau jawabnya cinta kita wujud mahkota hati, yang dalam, dan tulus, bisa dikira tak berjejak di bumi.
Maka, begini sajalah, lupakan diskursus ruwet tentang cinta itu. Mari kita merenung seperti Susanna, tentang hidup.
“Pernahkah kita memberi contoh pada dunia cara kita menghina Gusti Kanjerng Nabi?”
”Demi Allah, tidak. Kita memuliakan beliau siang dan malam.”
”Pernahkah beliau menyuruh kita jujur?”
”Itu salah satu ajarannya.”
”Mengapa kita tidak jujur? Bukankah itu menghina beliau, menghina Islam, dan menghina Allah?”
”Beliau menyuruh kita gigih menuntut ilmu?”
”Ya. Sampai di negeri China sekali pun.”
”Mengapa kita malas dan mudah putus asa, hingga kita menjadi komunitas yang terbelakang, bodoh dan miskin, dan tak pernah bisa sama dengan pihak lain yang menguasai dunia?”
”Kita rajin ’ngaji’, tapi mengapa orang lain yang mengamalkan? Mengapa kita puas ’ngaji’ kitab tapi tak pernah ’ngaji’ kehidupan, hingga ilmu kita terbatas pada ilmu kitab, dan terbelakang dalam ilmu hidup? Dan kita tak menguasai teknologi?
Kita mengerti ajaran untuk tidak korup, tapi mengapa kita telan harta anak yatim piatu dan rakyat miskin? Kita tahu harta haram hanya akan menjadi bahan bakar neraka, tapi mengapa kita simpan hasil curian kita di yayasan yang kita bikin?
Apa ini bukan menghina nabi, menghina Islam, dan menghina Allah, seolah Allah bisa dikecoh dengan yayasan?
Kita bicara cinta. Tapi cinta macam apa wujudnya?”